Minggu, 26 Februari 2012

infeksi bakterial

Top of Form

INFEKSI BAKTERIAL

SISTEMA SARAF PUSAT

ABSES SUBGALEAL

Abses subgaleal adalah infeksi yang terlokalisir antara

galea dari skalp dan perikranium. Perjalanannya biasa

dimulai dengan kontaminasi luka skalp oleh stafilokoki,

streptokoki, atau organisme anaerob. Nyeri skalp yang

terlokalisir dan pembengkakan adalah tanda pembentukan

abses. Demam, limfadenopati, serta pembengkakan muka

menunjukkan penyebaran regional dan sistemik infeksi.

Infeksi jarang meluas keintrakranial kecuali tengkorak

sudah terpenetrasi. Osteomielitis tengkorak terkadang

terjadi sekunder. Tindakannya adalah drainasi terbuka

serta debridemen dan antibiotika sistemik.

OSTEOMIELITIS

Osteomielitis tengkorak mungkin timbul dari perluasan

infeksi lokal, seperti sinusitis atau mastoiditis, dari

kontaminasi langsung pada tengkorak saat operasi atau

setelah cedera, atau jarang secara hematogen dari

sumber jauh seperti traktus uriner dan respiratori.

Infeksi tengkorak mungkin meluas kedalam membentuk

abses epidural atau keluar keruang subgaleal. Patogen

yang umum adalah stafilokoki dan streptokoki anaerob.

Kadang-kadang yang bertanggung-jawab adalah organisme

gram negatif atau fungi. Tindakan berupa debridemen

tulang yang terinfeksi serta antibiotika sesuai paling

tidak untuk 6 minggu. Laju sedimentasi eritrosit dan x-

ray tengkorak bermanfaat untu menilai respon terhadap

terapi.

Osteomielitis tulang belakang biasanya tampil

dengan nyeri dan biasanya akut pada anak-anak dan lebih

perlahan pada dewasa. Mielopati serta radikulopati

merupakan gejala pada sekitar 50 % pasien. MRI sangat

bernilai melacak kompresi kord tulang belakang.

Intervensi bedah diindikasikan untuk semua pasien

dengan defisit neurologis serta biopsi sering

diperlukan untuk memastikan diagnosis serta mengetahui

organisme penyebab. S. aureus adalah patogen tersering;

namun infeksi gram negatif umumnya sekitar 16.7 %.

Keberhasilan pengobatan tergantung organisme yang

berhasil diisolasi serta antibiotika intravena paling

tidak diberikan 6-8 minggu disertai dengan immobilisasi

(baring dan ortosis kaku) untuk mengurangi nyeri.

Sekali lagi, laju sedimentasi serial dan film tulang

belakang berguna untuk menilai reaksi terhadap terapi.

ABSES EPIDURAL

Infeksi intrakranial terbatas diruang epidural adalah

komplikasi yang jarang dari kontaminasi jaringan epi-

dural baik traumatika atau operatif. Lebih sering

diakibatkan oleh perluasan osteomielitis berdekatan.

Bila dura intak, infeksi jarang meluas secara trans-

dural. Tindakannya adalah drainasi, debridemen dan

antibiotik sistemik.

Abses epidural tulang belakang lebih sering dan

biasanya memerlukan bedah gawat darurat. Khas dengan

demam, nyeri tulang belakang lokal, dan progresi yang

cepat dari defisit neurologis. Nyeri radikuler serta

mielopati sering terjadi dalam beberapa hari sejak

gejala awal. Kebanyakan abses epidural disebabkan

perluasan lokal dari osteomielitis tulang belakang dan

jarang melalui penyebaran hematogen dari infeksi jauh.

CSS memperlihatkan peninggian kadar protein yang jelas

dan pleositosis ringan. Mielogram atau MRI menampilkan

perluasan massa epidural. Organisme penyebab tersering

adalah S. aureus dan terkadang Streptococcus sp. Basil

gram negatif sering diisolasi dari pecandu obat intra-

vena. Mycobacterium tuberculosis merupakan penyebab

terpenting abses epidural dibanyak bagian bumi.

Tindakan berupa laminektomi segera serta drainasi abses

diikuti terapi antibiotika spesifik jangka panjang.

Pemulihan fungsi neurologi langsung berhubungan dengan

lama dan beratnya gangguan sebelum operasi.

EMPIEMA SUBDURAL

Empiema subdural, infeksi purulen ruang subdural,

terjadi karena perluasan langsung melalui mening saat

meningitis pada neonatus dan bayi, atau sebagai

komplikasi sinusitis paranasal atau otitis pada anak

dan dewasa muda. Jarang secara hematogen dari infeksi

jauh, dan kontaminasi langsung dari trauma pernah

dilaporkan. Diagnosis didasarkan pada temuan klinis dan

radiografis. Nyeri kepala, demam, dan meningismus

merupakan keluhan yang umum dan dapat timbul sejak 1-8

minggu sebelumnya. Kejang dan defisit fokal juga biasa

terjadi. CT scan dan MRI memperlihatkan koleksi sub-

dural; namun massa mungkin isodens pada CT scan, hingga

memerlukan penguatan zat kontras agar jelas terlihat.

Pencitraan juga berguna dalam mendiagnosis infeksi

sinus atau mastoid penyebab. Risiko pungsi lumbar pada

penderita yang diduga memiliki massa intrakranial

mengharuskan dibatalkankannya tindakan ini hingga CT

scan memastikan tidak adanya efek massa intrakranial.

Analisis CSS jarang sebagai diagnostik, namun bisa

menampakkan perubahan inflamatori nonspesifik.

Sumber otorinologis empiema subdural biasanya

disebabkan streptokoki, stafilokoki dan koki anaerob.

Kelainan sinus paranasal adalah faktor etiologi yang

paling sering pada literatur barat. Sekali ruang sub-

dural terkena, infeksi akan menyebar diatas konveksitas

otak serta kefisura interhemisferik dan fisura Sylvian.

Penyebaran infratentorial terjadi pada 3-10 % infeksi,

selalu sekunder dari perluasan otitis. Akumulasi pus

sering cukup untuk menimbulkan massa intrakranial.

Reaksi inflamasi hebat memacu pembengkakan dan edema

otak. Tampilan klinisnya adalah perburukan neurologis

cepat, sering dengan defisit fokal, koma dan mati.

Empiema subdural sekunder terhadap meningitis

umumnya bilateral dan kurang fulminan dibanding yang

sekunder terhadap infeksi otorinologis. H. influenzae

adalah organisme utama; namun empiema S. pneumoniae

juga sering dilaporkan. Hidrosefalus komunikating bisa

terjadi karena resorpsi diatas konveksitas otak

terganggu oleh infeksi.

Sebelum ditemukan penisilin, empiema subdural

selalu fatal. Dengan antibiotika sistemik dan drainasi

bedah, tingkat mortalitas 25 %, dengan outcome buruk

sangat tergantung pada tingkat kesadaran sebelum

tindakan dan ketidakmampuan mengetahui organisme

patogenik. Bannister menganjurkan kraniotomi primer

dengan bukaan luas, eksplorasi subdural agresif, dan

debridemen yang baik dari material purulen material

dari permukaan otak. Laporan mutakhir memperlihatkan

pengurangan outcome yang buruk dan mortalitas secara

bermakna pada tindakan kraniotomi dibanding dengan

drainasi bur hole.

Sumber infeksi harus ditindak agresif, drainasi

sinus dan mastoid sering diperlukan. Antikonvulsan

profilaktik dianjurkan karena insidens yang tinggi dari

kejang. Keberhasilan tindakan nonbedah pernah

dilaporkan dengan mencoba terapi antibiotik saja pada

pasien dengan status neurologis utuh; pemeriksaan

neurologis normal; dan lesi tunggal dan terbatas pada

CT scan.

Empiema subdural tulang belakang jarang. Biasanya

timbul dari ekstensi transdural lokal dari osteo-

mielitis tulang belakang, atau melalui arakhnoid pada

meningitis. Kompresi kord tulang belakang dan mielitis

transversa mungkin terjadi. Tindakan berupa drainasi

emergensi melalui laminektomi serta pemberian anti-

biotik jangka lama.

MENINGITIS BAKTERIAL

Meningitis bakterial adalah infeksi purulen ruang

subarakhnoid. Biasanya akut, fulminan, khas dengan

demam, nyeri kepala, mual ,muntah, dan kaku nukhal.

Koma terjadi pada 5-10 % kasus dan berakibat prognosis

yang buruk. Kejang terjadi pada sekitar 20 % kasus, dan

palsi saraf kranial pada 5 %. Meningitis bakterial yang

tidak ditindak hampir selalu fatal. CSS secara klasik

memperlihatkan leukositosis polimorfonuklir, peninggian

protein, dan penurunan glukosa; pewarnaan Gram dari CSS

memperlihatkan organisme penyebab pada 75 % kasus.

Kultur CSS memberi diagnosis pada 90 % kasus dan perlu

untuk melakukan tes sensitifitas antibiotika terhadap

mikroba. Penurunan kesadaran, terutama bila berhubungan

dengan edema papil atau defisit neurologis fokal,

mengharuskan dilakukannya CT scan sebelum melakukan

pungsi lumbar untuk menyingkirkan lesi massa atau

hidrosefalus. Hipertensi intrakranial difusa, tanpa

adanya lesi massa pada CT scan bukan kontraindikasi

pungsi lumbar, tentunya dengan pengetahuan yang baik

tentang herniasi serta penanggulangannya. Pemeriksaan

fisik harus mencakup pemeriksaan teliti daerah

inflamasi berdekatan seperti otitis dan sinusitis dan

mencari etiologi bakteremia seperti endokarditis.

Kultur darah mungkin positif.

Penelitian binatang memperlihatkan etiologi primer

meningitis bakterial adalah invasi leptomeningeal

bakteri malalui darah yang berkoloni dimukosa naso-

faring. Patogen meningeal tersering adalah bakteria

yang berkapsul. Setelah membentuk koloni dinasofaring,

bakteri berkapsul melintas epitel dan membuat jalan

kealiran darah. Kapsul menghambat fagositosis oleh

neutrofil, jadi patogen meningeal memperlihatkan

kemampuan mempertahankan bakteremia transien. Mekanisme

selanjutnya dimana bakteri dalam darah mencapai lepto-

mening dan ruang subarakhnoid belum begitu diketahui.

Sumber lain meningitis bakterial adalah perluasan

langsung dari infeksi otorinologis, walau kejadiannya

jelas dikurangi oleh terapi dini antibiotik yang

efektif terhadap otitis atau sinusitis. Jarang,

meningitis disebabkan inokulasi langsung pada cedera

penetrating.

Tindakan terhadap meningitis akut, tampak pada

tabel, tergantung sumber primer, usia pasien, organisme

penyebab, dan sensitifitas antibiotik. Tindakan harus

diarahkan pada infeksi CSS maupun sumber primer.

Meningitis yang terjadi sekunder terhadap bakteremia

dan perluasan langsung otorinal cenderung disebabkan

organisme yang biasa berkembang dinasofaring. Terdapat

pengaruh usia yang jelas pada meningitis oleh organisme

tersebut. Meningitis setelah cedera otak traumatika

serta fraktura tengkorak, dengan atau tanpa otorinorea

CSS, paling sering diakibatkan oleh S. pneumoniae.

Meningitis yang terjadi setelah luka penetrasi biasanya

disebabkan stafolikokal, streptokokal, atau organisme

gram negatif.

Terapi empiris harus diperbaiki bila organisme

penyebab sudah dikenal. Penisilin G dan ampisilin

diketahui mempunyai manfaat yang sama pada kebanyakan

infeksi S. pneumoniae dan N. meningitidis. Dengan

meningkatnya H. influenzae yang membentuk beta-

laktamase, saat ini (1993) sekitar 25 %, menyebabkan

pemakaian ampisilin dan kloramfenikol sebagai terapi

empiris. Seftriakson atau sefotaksim memperlihatkan

manfaat dan sekarang dipakai sebagai terapi terpilih

pada neonatus dan anak-anak. Walau sefuroksim, sefalo-

sporin generasi kedua, pernah umum digunakan untuk H.

influenzae, tidak lagi dianjurkan untuk infeksi SSP

karena lambatnya sterilisasi CSS serta dilaporkan

terjadinya meningitis H. influenzae pada saat terapi

sistemik. L. monocytogenes tidak sensitif sefalosporin

dan terapi yang dianjurkan adalah ampisilin atau

penisilin G. Pilihan lain adalah trimetoprim-sulfa-

metoksazol. Pasien dengan meningitis S. aureus harus

ditindak dengan nafsilin atau oksasilin, dengan

vankomisin dicadangkan untuk strain resisten metisilin

dan S. epidermidis. Lamanya terapi meningitis, umumnya

berdasar empiris dan tradisi; biasanya 7-14 hari untuk

patogen meningeal utama, dan 21 hari untuk infeksi

basil gram negatif.

Tindakan terhadap meningitis basiler gram negatif

mengalami revolusi dengan adanya sefalosporin generasi

ketiga. Sefotaksim, seftazidim, dan seftriakson dapat

menembus CSS dan mecapai konsentrasi terapeutik hingga

memungkinkan terapi terhadap meningitis yang sebelumnya

memerlukan terapi secara intratekal; 78-94 % tingkat

kesembuhan telah dilaporkan. Seftriakson, sefotaksim,

dan seftazidim terbukti bermanfaat. Sefalosporin

generasi ketiga lainnya, seftizoksim dan sefoperazon,

belum dinilai dengan baik. Dianjurkan seftazidim

dicadangkan untuk pengobatan P. aeruginosa dalam

kombinasi dengan aminoglikosida. Kegagalan regimen ini

mengharuskan pemberian aminoglikosida intratekal atau

intraventrikuler untuk memperkuat terapi.

Modifikasi inflamasi ruang subarakhnoid dengan

agen anti inflamatori mungkin memperkecil akibat

meningitis bakterial. Penelitian mutakhir terapi

tambahan deksametason pada bayi dan anak-anak dengan

meningitis bakterial memperlihatkan bahwa sekuele

neurologis jangka panjang, terutama retardasi mental

dan kehilangan pendengaran, menurun pada pemberian

deksametason 0.15 mg/kg IV setiap 6 jam pada 4 hari

pertama terapi, dan tidak memperberat efek eradikasi

infeksi. Saat ini penggunaan deksametason dianjurkan

pada pasien pediatrik berusia lebih dari 2 bulan.

ABSES OTAK

Abses otak adalah koleksi infeksi purulen berbatas

tegas didalam parenkhima otak. Perjalanan waktu dan

perubahan yang terjadi selama pembentukan abses pada

anjing dikemukan oleh Britt. Sel inflamatori akut

tampak pada pusat meterial yang nekrotik, dikelilingi

zona serebritis. Dengan maturasi, timbul neovaskulari-

sasi periferal dan lambat laun terbentuk cincin

fibroblas yang menimbun kolagen dan makrofag, berakhir

sebagai kapsul berbentuk tegas. Apakah serebritis

menjadi abses yang berkapsul tergantung pada interaksi

pasien-organisme dan pengaruh terapi. Pada manusia

dengan sitema imun baik, proses sejak infiltrasi

bakterial hingga abses berkapsul memerlukan sekitar 2

minggu. Daerah terlemah dari kapsul cenderung merupakan

daerah yang kurang vaskuler yang menghadap ventrikel;

karenanya migrasi sentrifugal proses inflamatori dengan

ruptur ventrikuler dan kematian merupakan sekuele yang

umum pada masa prabedah dahulu kala.

Tanda dan gejala abses otak umumnya berhubungan

dengan efek massa. Nyeri kepala, defisit neurologis

fokal, dan gangguan mentasi sering tampak. Demam

terjadi pada 50 % dari waktu, namun mungkin tidak ada

atau sedikit bukti infeksi sistemik. Kejang terjadi

pada 25-60 % pasien. Edema otak, efek massa, dan

pergeseran garis tengah umum terjadi; karenanya pungsi

lumbar kontraindikasi dan mempunyai nilai klinis yang

kecil karena kultur CSS positif hanya pada kurang dari

10 % kasus.

Abses otak umumnya terjadi sekunder terhadap

infeksi ditempat lain, dan bakteriologi sering

menunjukkan sumber primer. Seperti empiema subdural,

perluasan intrakranial langsung dari sinus paranasal

atau infeksi telinga adalah etiologi tersering. Lesi

ini adalah khas soliter dan ditemukan dilobus frontal

pada sinusitis frontoetmoid, dilobus temporal pada

sinusitis maksiler, dan serebelum atau lobus temporal

pada infeksi otologis. Abses otak multipel menunjukkan

penyebaran hematogen dari sumber jauh dan infeksi

sistemik yang umum seperti endokarditis bakterial,

kelainan jantung kongenital sianotik, pneumonia, dan

divertikulitis harus dicari. Penyebaran hematogen,

terutama dari endokarditis, mungkin berhubungan dengan

aneurisma intrakranial piogenik.

Kontaminasi otak langsung melalui cedera otak

penetrating adalah penyebab lain dari abses. Fragmen

tulang yang belum dibuang serta debris lainnya umum

dijumpai pada pasien dengan infeksi otak traumatika.

Pembentukan abses jarang terjadi selama perjalanan

meningitis bakterial, namun merupakan faktor pre-

disposisi pada 25 % abses otak pediatrik yang biasanya

berkaitan dengan meningitis Sitrobakter atau Proteus

neonatal. Sebaliknya abses otak sering dijumpai pada

pasien dengan immunitas yang terganggu sekunder atas

penggunaan steroid, kelainan limfoproliferatif, dan

transplantasi organ, dan absesnya cenderung multipel.

Organisme yang paling sering dijumpai pada abses

otak adalah Streptokokus, Stafilokokus, dan Baktero-

ides, dengan organisme multipel pada 10-20 % kasus.

Terapi antibiotik empiris berdasar lokasi lesi dan

sumber infeksi yang sudah dikenal, namun beratnya

penyakit serta sering terjadinya infeksi yang tidak

terduga menyebabkan dianjurkannya antibiotik jangkauan

luas atas gram positif, gram negatif, dan anaerob

sebagai terapi empiris pada semua kasus.

CT scan mempunyai akurasi tinggi dalam melacak

Tabel 8-2

Meningitis: Organisme Penyebab dan Terapi Empiris

berdasar Sumber infeksi, dan Usia

-------------------------------------------------------

Sumber Organisme Tersering Terapi Empiris

-------------------------------------------------------

Spontan

Neonatus E. coli Ampi + Seftriakson

B streptococci atau

L. monocytogenes Ampi + Gentamisin

1-3 bulan E. coli Ampi + Seftriakson

B streptococci Ampi +

L. monocytogenes Kloramfenikol

H. influenzae

S. pneumoniae

3 bulan- H. influenzae Seftriakson atau

18 tahun N. meningitidis Ampi +

S. pneumoniae Kloramfenikol

18-50 S. pneumoniae Ampi atau

tahun N. meningitidis Penisilin G

Diatas S. pneumonia Ampi + Seftriakson

50 tahun N. meningitidis

L. monocytogenes

Gram (-) bacilli

Cedera

Tengkorak S. pneumoniae Ampi + Seftriakson

tertutup Streptokokus lain

(+ likuore) H. influenzae

Penetrating S. aureus Vankomisin +

S. epidermidis Seftriakson

Streptococcus sp

Gram (-) bacilli

Pasca bedah S. aureus Vankomisin +

S. epidermidis Seftriakson

Gram (-) bacilli

-------------------------------------------------------

abses otak. Karena memberikan deteksi yang dini dan

memberikan lokalisasi yang akurat, CT scan paling ber-

tanggung-jawab atas penurunan angka kematian dari 30-

50 % kasus menjadi kurang dari 15 % dalam dua dekade

terakhir.

Tujuan terapi adalah memastikan segera mikroba

yang bertanggung-jawab serta sensitifitas antibiotik,

pensterilan SSP dan infeksi primer, menyingkirkan efek

massa segera, dan mengurangi edema otak. Pemberian

kortikosteroid kontroversial. Selama serebritis dan

Tabel 8-3

Bakteri Patogen SSP Spesifik dan Terapi Antimikroba

-------------------------------------------------------

Organisme Obat Terpilih Alternatif

-------------------------------------------------------

S. pneumoniae Penisilin G S3, kloramfenikol

(Ampisilin)

S. pyogenes Penisilin G S3, kloramfenikol

S. group B Penisilin G + S3, kloramfenikol

Gentamisin

S. faecalis Penisilin G + Vankomisin +

Gentamisin Gentamisin

S. aureus

Sensitif metisilin Nafsilin Oksasilin,

Vankomisin

Resisten metisilin Vankomisin Trimetoprim-

Sulfametoksazol,

Siprofloksasin

S. epidermidis Vankomisin + Teikoplanin

Rifampin

L. monocytogenes Ampisilin + Trimetoprim-

Aminoglikosida Sulfametoksazol

C. difficile Vankomisin Metronidazol

N. meningitidis Penisilin G Kloramfenikol, S3

H. influenzae

Beta laktamase (-) Ampisilin S3

Beta laktamase (+) Seftriakson Kloramfenikol

Enterobacteriaceae Seftriakson Pipersilin +

(Escherichia, aminoglikosida

Klebsiella,

Proteus,

Serratia)

P. aeruginosa Seftazidim + Pipersilin +

Aminoglikosida Aminoglikosida,

Imipenem

Bacteroides Metronidazol Klindamisin,

Vankomisin

-------------------------------------------------------

S3: sefalosporin generasi ketiga:

Seftriakson, sefotaksim, seftazidim

tahap awal kapsulisasi, atau pada pasien dengan risiko

bedah tinggi dengan abses kecil dan organisme penyebab

diketahui, terapi medikal dengan antibiotika parenteral

mungkin cukup. Diluar itu harus dilakukan drainasi

bedah terhadap material purulen baik dengan aspirasi

maupun eksisi disertai antibiotika paling tidak 4

minggu. Operasi akan mengurangi efek massa dan

karenanya mengurangi aspek paling kritis dan berbahaya

jenis infeksi ini. Operasi juga akan menunjukan

organisme penyebab pada 60-80 % kasus, memungkinkan

biakan dapat dilakukan dengan teliti baik untuk

organisme aerob maupun anaerob. Dianjurkan tidak

memberikan antibiotik prabedah bila operasi dapat

dilakukan segera karena kultur steril bisa terjadi.

Walau eksisi bedah memperlihatkan penurunan angka

rekurensi, sekarang banyak yang menganjurkan aspirasi

abses otak stereotaktik yang dituntun ultrasonografi

atau CT scan, dan mencadangkan eksisi untuk lesi

soliter dan superfisial, lesi yang mengandung benda

asing, atau gagal dengan aspirasi.

INFEKSI PASCABEDAH

Semua infeksi piogenik diatas mungkin terjadi setelah

tindakan bedah saraf. Walau drainasi luka terinfeksi

adalah prinsip bedah, cara ini harus dirubah bila

diberlakukan atas infeksi SSP. Karena dura adalah sawar

terpenting antara CSS dan dunia luar, drainasi luka

bedah saraf yang terinfeksi tidak dilakukan kecuali

dura tidak bocor.

Empiema subdural bisa menjadi komplikasi pasca

bedah yang serius setelah eksplorasi bur hole, kranio-

tomi, atau pemasangan pin halo. Infeksi biasanya

terbatas pada daerah operasi dan biasa disebabkan oleh

S. aureus dan S. epidermidis. Jarang fulminan dan

sering terdeteksi karena perluasan subgalealnya.

Tindakan berupa debridemen, drainasi, dan antibiotika.

Bila terpasang pelat tulang, harus diangkat.

Komplikasi meningitis sekitar 0.34 % kasus

kraniotomi, biasanya disebabkan S. aureus dan S. epi-

dermidis serta batang gram negatif. Meningitis gram

negatif pasca kraniotomi adalah infeksi serius dan

biasanya disebabkan organisme yang sangat resisten

seperti Pseudominas, Enterobacter, dan Klebsiela.

Mortalitas mencapai 70 % dan memerlukan antibiotika

yang tepat. Vankomisin dikombinasi dengan sefalosporin

generasi ketiga memberikan aktifitas berjangkauan luas

sementara menunggu identifikasi patogen spesifik.

Aminoglikosida dipertimbangkan pada pasien kritis.

Eradikasi infeksi menjadi lebih sulit bila

material prostetik atau alat pintas CSS terpasang.

Infeksi alat pintas sekitar 5-15 % dari semua tindakan

pintas, mencakup 15-25 % pasien hidrosefalus dengan

pintas. S. epidermidis dan S. aureus adalah organisme

tersering dijumpai; namun pada bayi Enterobacteriaceae

juga ditemukan.

Secara umum, benda asing harus dikeluarkan bila

infeksi terjadi. Terkadang infeksi dapat diatasi walau

ada alat pintas, hingga infeksinya menjadi tenang dan

alat pintas berfungsi. Kombinasi antibiotika sistemik

dan intratekal biasanya perlu untuk mengatasi infeksi

dan menyelamatkan material pintas atau prostetik.

Menunggu pemeriksaan sensitifitas, terapi infeksi

pintas yang disebabkan oleh S. epidermidis adalah

vankomisin, untuk S. aureus adalah nafsilin IV, dan

untuk basili enterik gram negatif adalah sefalosporin

generasi ketiga seperti sefotaksim. Bila pasien gagal

bereaksi atas antibiotika, pengangkatan semua perangkat

keras dan drainasi CSS eksternal dilakukan untuk

mengeradikasi infeksi.

PROFILAKSI OPERATIF

Risiko infeksi luka setelah tindakan bedah saraf yang

bersih adalah 2-5 % dikebanyakan rumah-sakit bila tanpa

profilaksi antibiotika (bukan di Indonesia tentunya).

Penggunaan antibiotika pada operasi bedah saraf bersih

tetap kontroversial, walau beberapa penelitian

menunjukan penurunan infeksi luka dengan profilaksi

antibiotik. Antibiotika harus diberikan sebelum insisi

kulit; tak ada manfaat yang diketahui dengan dosis

pasca bedah. Agen yang umum digunakan adalah yang

memperlihatkan aktifitas bakteriosidal yang baik

terhadap infeksi stafilokokus, penisilin resisten

penisilinase, sefalosporin generasi kedua, dan vanko-

misin.

ANTIBIOTIKA UNTUK INFEKSI PADA PASIEN BEDAH SARAF

Perlunya memberikan yang beraktifitas berjangkauan luas

berpegang pada terapi empiris kombinasi, yang diganti

dengan yang lebih spesifik berdasar hasil kultur dan

tes sensitifitas. Pada pasien gawat dengan infeksi SSP,

pada keadaan tertentu diperlukan penetrasi SSP. Tabel

menunjukkan terapi untuk organisme yang telah diketahui

namun belum ada hasil tes sensitifitas.

Ampisilin dan penisilin G memberikan kadar CSS

yang baik dalam keadaan inflamasi dan umum digunakan

pada pasien bedah saraf dalam menghadapi meningitis.

Penisilin resisten penisilinase seperti metisilin,

nafsilin, dan oksasilin adalah untuk dugaan atau telah

dibuktikan adanya infeksi S. aureus. Senyawa ini tidak

mempunyai aktifitas terhadap basili gram negatif atau

S. faecalis, namun menghambat S. pyogenes dan S. pneu-

moniae pada konsentrasi yang memadai.

Strain S. aureus resisten penisilin mampu merubah

protein terikat penisilin, membuatnya resisten terhadap

semua penisilin dan sefalosporin. Vankomisin, sebuah

antibiotika glikopeptida, satu-satunya antibiotika yang

secara konsisten sensitif terhadap strain ini dan

terhadap S. epidermidis koagulase negatif. Glikopeptida

yang lebih baru, teikoplanin, dieliminasi lebih lambat,

ditolerasi lebih baik, dan lebih poten dari vankomisin.

Penisilin antipseudomonal berperan dalam terapi

karena seringnya infeksi P. aeruginosa. Piperasilin

aktif menghadapi P. aeruginosa dan juga aktif terhadap

patogen gram negatif lainnya seperti Klebsiella dan

Enterobacter. Luasnya spektrum piperasilin menyebabkan-

nya populer diruangan perawatan, umumnya dikombinasi

dengan aminoglikosida.

Tabel 8-4

Dosis Antibiotika Untuk Infeksi SSP Pada Dewasa

-------------------------------------------------------

Antibiotika Dosis Harian Interval (jam)

-------------------------------------------------------

Penisilin 20-40 juta u 4

Ampisilin 12 gr 4

Nafsilin, oksasilin 9-12 gr 4

Vankomisin 2 gr 12

Pipersilin 300 mg/kgBB 4

Seftriakson 50 mg/kgBB 12

Sefotaksim 12 gr 4

Seftizoksim 6-9 gr 8

Seftazidim 6-12 gr 8

Genta, tobramisin 5 mg/kgBB 8

Amikasin 14 mg/kgBB 8

Trimetop-sulfametoks 10 mg(Tmp)/kgBB 12

Kloramfenikol 4-6 gr 6

Metronidazol 30 mg/kgBB 6

-------------------------------------------------------

Sefalosporin generasi ketiga memberikan kemajuan

yang besar dalam terapi pasien bedah saraf yang

kompleks. Sefotaksim dan Seftriakson mempunya penetrasi

CSS yang baik, hingga memungkinkan pengobatan terhadap

kebanyakan meningitis gram negatif yang sebelumnya

memerlukan terapi intratekal. Klebsiella, Proteus,

Serratia, dan Enterobacter biasanya sensitif terhadap

sefalosporin spektrum luas ini. Namun konsentrasi yang

dicapai tidak cukup untuk stafilokokus.

Metronidazol memiliki aktifitas yang baik terhadap

bakteria anaerob termasuk B. fragilis dan menembus SSP

dengan baik. Neurotoksisitas seperti ataksia pernah

dijumpai dan dapat membingungkan bila digunakan sebagai

regimen untuk infeksi SSP, namun untungnya efek samping

ini jarang. Sebagai tambahan atas aktifitasnya yang

baik terhadap B. fragilis, klindamisin adalah anti-

stafilokokal yang baik.

Antibiotika yang belum teruji namun menjanjikan

untuk menindak infeksi gram negatif resisten adalah

fluorokuinolon, imipenum, dan aztreonam.

Bottom of Form


Site Sponsors sponsor logo