Selasa, 25 Oktober 2011

MITOTOKSIN

PENDAHULUAN

Makanan merupakan sumber energi yang dibutuhkan oleh manusia dan hewan untuk melangsungkan kehidupannya. Namun, makanan dapat menjadi sumber penyakit jika tidak memenuhi kriteria sebagai makanan baik, sehat dan aman. Berbagai kontaminan dapat mencemari bahan pangan dan pakan sehingga tidak layak untuk dikonsumsi.

Fungsi makanan yaitu menjaga keberlangsungan hidup dan menjaga agar makhluk hidup sehat lahir dan bathin. Selain itu, kualitas makanan yang dikonsumsi dapat berpengaruh terhadap kualitas hidup dan perilaku makhluk hidup itu sendiri. Oleh karena itu, setiap makhluk hidup selayaknya berusaha untuk mendapatkan makanan yang baik. dapat disimpulkan bahwa makanan yang dikonsumsi harus baik ditinjau dari segi fisik dan psikologis, karena kualitas makanan berpengaruh terhadap kualitas makhluk hidup, terutama manusia.

Kualitas makanan atau bahan makanan di alam ini tidak terlepas dari berbagai pengaruh seperti kondisi dan lingkungan, yang menjadikan layak atau tidaknya suatu makanan untuk dikonsumsi. Berbagai bahan pencemar dapat terkandung di dalam makanan karena penggunaan bahan baku pangan terkontaminasi, proses pengolahan, dan proses penyimpanan. Di antara kontaminan yang sering ditemukan adalah mikotoksin yang dihasilkan oleh kapang.

Gambar 1. Bahan makanan yang dapat terkontaminasi oleh mikotoksin

Selama penyimpanan, makanan atau bahan makanan sangat mudah ditumbuhi oleh kapang. Iklim tropis yang dimiliki Indonesia dengan curah hujan, suhu dan kelembaban yang tinggi sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Kontaminasi mikotoksin tidak hanya menurunkan kualitas bahan pangan/pakan dan mempengaruhi nilai ekonomis, tetapi juga membahayakan kesehatan manusia dan hewan. Berbagai penyakit dapat ditimbulkan oleh mikotoksin, seperti kanker hati yang disebabkan oleh aflatoksin, salah satu jenis mikotoksin yang paling banyak ditemukan di negara beriklim tropis.

Karena adanya kontaminasi mikotoksin tidak kasat mata, terlebih lagi pada makanan olahan, maka diperlu kewaspadaan dalam memilih makanan terutama bahan makanan atau makanan olahan yang telah disimpan dalam waktu lama.

MIKOTOKSIN DAN MIKOTOKSIKOSIS

Mikotoksin merupakan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh spesies kapang tertentu selama pertumbuhannya pada bahan pangan maupun pakan (Fox dan Cameron, 1989). Mikotoksin mulai dikenal sejak ditemukannya aflatoksin yang menyebabkan Turkey X –disease pada tahun 1960.

Hingga saat ini telah dikenal 300 jenis mikotoksin (Cole dan Cox, 1981), lima jenis diantaranya sangat berpotensi menyebabkan penyakit baik pada manusia maupun hewan, yaitu aflatoksin, okratoksin A, zearalenon, trikotesena (deoksinivalenol, toksin T2) dan fumonisin. Menurut Bhat dan Miller (1991) sekitar 25-50% komoditas pertanian tercemar kelima jenis mikotoksin tersebut. Penyakit yang disebabkan karena adanya pemaparan mikotoksin disebut mikotoksikosis.

Perbedaan sifat-sifat kimia, biologik dan toksikologik tiap mikotoksin menyebabkan adanya perbedaan efek toksik yang ditimbulkannya. Selain itu, toksisitas ini juga ditentukan oleh:

(1) dosis atau jumlah mikotoksin yang dikonsumsi

(2) rute pemaparan

(3) lamanya pemaparan

(4) spesies

(5) umur

(6) jenis kelamin

(7) satus fisiologis, kesehatan dan gizi

(8) efek sinergis dari berbagai mikotoksin yang secara bersamaan terdapat pada bahan pangan (Bahri et al., 2002).

JENIS- JENIS MIKOTOKSIN

AFLATOKSIN

Aflatoksin merupakan segolongan senyawa toksik (mikotoksin, toksin yang berasal dari fungi) yang dikenal mematikan dan karsinogenik bagi manusia dan hewan.Spesies penghasilnya adalah segolongan fungi (jenis kapang) dari genus Aspergillus, terutama A. flavus (dari sini nama "afla" diambil) dan A. parasiticus yang berasosiasi dengan produk-produk biji-bijian berminyak atau berkarbohidrat tinggi. Kandungan aflatoksin ditemukan pada biji kacang-kacangan (kacang tanah, kedelai, pistacio, atau bunga matahari), rempah-rempah (seperti ketumbar, jahe, lada, serta kunyit), dan serealia (seperti gandum, padi, sorgum, dan jagung). Aflatoksin berasal dari singkatan Aspergillus flavus toxin. Toksin ini pertama kali diketahui berasal dari kapang Aspergillus flavus yang berhasil diisolasi pada tahun 1960. A. flavus sebagai penghasil utama aflatoksin umumnya hanya memproduksi aflatoksin B1 dan B2 (AFB1 dan AFB2) Sedangkan A. parasiticus memproduksi AFB1, AFB2, AFG1, dan AFG2. A. flavus dan A. parasiticus ini tumbuh pada kisaran suhu yang jauh, yaitu berkisar dari 10-120C sampai 42-430C dengan suhu optimum 320-330C dan pH optimum 6.

Diantara keempat jenis aflatoksin tersebut AFB1 memiliki efek toksik yang paling tinggi. Mikotoksin ini bersifat karsinogenik, hepatatoksik dan mutagenik sehingga menjadi perhatian badan kesehatan dunia (WHO) dan dikategorikan sebagai karsinogenik gol 1A. Selain itu, aflatoksin juga bersifat immunosuppresif yang dapat menurunkan sistem kekebalan tubuh.

Di Indonesia, aflatoksin merupakan mikotoksin yang sering ditemukan pada produk-produk pertanian dan hasil olahan (Muhilal dan Karyadi, 1985, Agus et al., 1999). Selain itu, residu aflatoksin dan metabolitnya juga ditemukan pada produk peternak seperti susu (Bahri et al., 1995), telur (Maryam et al., 1994), dan daging ayam (Maryam, 1996). Sudjadi et al (1999) melaporkan bahwa 80 diantara 81 orang pasien (66 orang pria dan 15 orang wanita) menderita kanker hati karena mengkonsumsi oncom, tempe, kacang goring, bumbu kacang, kecap dan ikan asin. AFB1, AFG1, dan AFM1 terdeteksi pada contoh liver dari 58% pasien tersebut dengan konsentrasi diatas 400 µg/kg.

Aflatoksin juga dapat dijumpai pada susu yang dihasilkan hewan ternak yang memakan produk yang terinfestasi kapang tersebut. Obat juga dapat mengandung aflatoksin bila terinfestasi kapang ini. Praktis semua produk pertanian dapat mengandung aflatoksin meskipun biasanya masih pada kadar toleransi. Kapang ini biasanya tumbuh pada penyimpanan yang tidak memperhatikan faktor kelembaban (min. 7%) dan bertemperatur tinggi. Daerah tropis merupakan tempat berkembang biak paling ideal. Toksin ini memiliki paling tidak 13 varian, yang terpenting adalah B1, B2, G1, G2, M1, dan M2. Aflatoksin B1 dihasilkan oleh kedua spesies, sementara G1 dan G2 hanya dihasilkan oleh A. parasiticus. Aflatoksin M1, dan M2 ditemukan pada susu sapi dan merupakan epoksida yang menjadi senyawa antara. Jenis alfatoksin berdasarkan penampakan fluoresensinya pada lempeng kromatografi lapis tipis di bawah sinar UV yang memberikan warna biru (blue) untuk B dan warna hijau (green) untuk G.

Aflatoksin B1, senyawa yang paling toksik, berpotensi merangsang kanker, terutama kanker hati. Serangan toksin yang paling ringan adalah lecet (iritasi) ringan akibat kematian jaringan (nekrosis). Pemaparan pada kadar tinggi dapat menyebabkan sirosis, karsinoma pada hati, serta gangguan pencernaan, penyerapan bahan makanan, dan metabolisme nutrien. Toksin ini di hati akan direaksi menjadi epoksida yang sangat reaktif terhadap senyawa-senyawa di dalam sel. Efek karsinogenik terjadi karena basa N guanin pada DNA akan diikat dan mengganggu kerja gen.

Pemanasan hingga 250 derajat Celsius tidak efektif menginaktifkan senyawa ini. Akibatnya bahan pangan yang terkontaminasi biasanya tidak dapat dikonsumsi lagi.

Empat macam aflatoksin alamiah yang paling sering dijumpai dan bersifat toksik yaitu aflatoksin B1, B2, G1, G2 Aflatoksin mempunyai kurang lebih 20 macam derivat, akan tetapi yang paling toksik adalah aflatoksin B1. Aflatoksin B1 dan B2 dapat menghasilkan metabolit aflatoksin M1 dan M2 melalui hidroksilasi, dimana keduan dihasilkan jika sapi atau hewan ruminansia lainnya memakan pakan yang terkontaminasi oleh aflatoksin B1 atau B2. Aflatoksin M1 dan M2 ini kemudian akan diekskresikan melalui susu yang dihasilkan sapi tersebut dan bisa saja mengkontaminasi produk dari susu seperti keju dan yogurt.

Aflatoksin sering terdapat pada jagung dan produk olahannya; kacang dan produk olahannya; biji kapas, susu, dan tree nuts seperti kacang brasil, kacang pistachio dan walnut. Selain itu juga terdapat pada sereal dan produk sereal seperti pasta, dan mi instan. Pada sejumlah spesies hewan, senyawa ini menyebabkan nekrosis, sirosis dan karsinoma organ hati; dilaporkan tidak ada hewan yang resisten terhadap efek toksik akut dari aflatoksin oleh karena itu disimpulkan manusia pun akan terkena efek yang sama. Aflatoksin B1 merupakan karsinogen paling potensial (termasuk kelompok 1A) pada banyak spesies termasuk primata, burung, ikan, dan rodensia. Dalam dosis yang tinggi aflatoksin dapat menyebabkan efek akut. Aflatoksin juga dapat terakumulasi di otak dan mempunyai efek buruk terhadap paru-paru, miokardium dan ginjal. Efek kronik pada manusia yaitu kanker hati, hepatitis kronik, hepatomegaly, penyakit kuning dan sirosis hati akibat mengkonsumsi pangan yang terkontaminasi aflatoksin pada konsentrasi rendah secara terus menerus.

OKRATOKSIN

Okratoksin, terutama Okratoksin A (OA) diketahui sebagai penyebab keracunan ginjal pada manusia maupun hewan, dan juga diduga bersifat karsinogenik. Okratoksin A ini pertama kali diisolasi pada tahun 1965 dari kapang Aspergillus ochraceus. Secara alami A. ochraceus terdapat pada tanaman yang mati atau busuk, juga pada biji-bijian, kacang-kacangan dan buah-buahan. Selain A.ochraceus, OA juga dapat dihasilkan oleh Penicillium viridicatum (Kuiper-Goodman, 1996) yang terdapat pada biji-bijian di daerah beriklim sedang (temperate), seperti pada gandum di eropa bagian utara.

P.viridicatum tumbuh pada suhu antara 0 – 310 C dengan suhu optimal pada 200C dan pH optimum 6 – 7. A.ochraceus tumbuh pada suhu antara 8 – 370C. Saat ini diketahui sedikitnya 3 macam Okratoksin, yaitu Okratoksin A (OA), Okratoksin B (OB), dan Okratoksin C (OC). OA adalah yang paling toksik dan paling banyak ditemukan di alam. Hal penting yang berkaitan dengan perdagangan komoditas kopi di pasar internasional adalah bahwa sebagian besar negara pengimpor/ konsumen kopi mensyaratkan kadar OA yang sangat rendah atau bebas OA.

Selain pada produk tanaman, ternyata OA dapat ditemukan pada berbagai produk ternak seperti daging babi dan daging ayam. Hal ini karena OA bersifat larut dalam lemak sehingga dapat tertimbun di bagian daging yang berlemak. Manusia dapat terekspose OA melalui produk ternak yang dikonsumsi.

Okratoksin A

Okratoksin A (OTA) merupakan jenis mikotoksin yang banyak mengkontaminasi komoditas pertanian dan pakan. Okratoksin A ini diketahui pertama kali pada tahun 1965 di Afrika Selatan yang diproduksi oleh kapang Aspergillus ochraceus. Selanjutnya diketahui OTA dapat juga dihasilkan oleh kapang Penicillium verrucosum dan P. viridicatum (pada umumnya terdapat di daerah subtropis) dan A. carbonarius (pada umumnya terdapat di daerah tropis). Selain OTA terdapat okratoksin B (C20H19NO6), C (C22H22ClNO6), a dan b. OTA merupakan molekul yang cukup stabil, dan dapat bertahan pada produk olahan bahan pangan. OTA pertama kali ditemukan sebagai kontaminan alami pada sampel jagung. Konsentrasi OTA yang sering ditemukan berkisar dibawah 50 mcg/kg (ppb); namun jika produk pangan tersebut disimpan dengan cara yang tidak layak maka konsentrasi OTA bisa menjadi lebih tinggi. Senyawa ini juga terdapat pada produk seperti kopi, bir, buah kering, wine, kakao dan kacang-kacangan. Keberadaan OTA juga ditemukan selama proses pembuatan bir, roti, sereal sarapan dan pengolahan kopi, pakan dan daging.

OTA merupakan mikotoksin yang bersifat teratogenik, mutagenik dan karsinogenik dan berpotensi menyebabkan kerusakan

terutama pada hati dan ginjal (akut maupun kronis). OTA dapat pula

menyebabkan gangguan pada sistem kekebalan untuk sejumlah spesies mamalia.

ZEARALENON

Zearalenon adalah toksin estrogenik yang dihasilkan oleh kapang Fusarium graminearum, F.tricinctum, dan F. moniliforme. Kapang ini tumbuh pada suhu optimum 20 – 250C dan kelembaban 40 – 60 %. Jenis ini menyerang padi-padiandan cenderung tumbuh terutama selama musim panen, dan musim dingin. Zearalenon stabil terhadap panas dan ditemukan pada hampir setiap produk pertanian dan berbagai padi-padian, jagung dan produk jagung, gandum, bir jagung, tepung terigu, kenari dan roti dan dalam pakan ternak. Zearalenon secara alami membentuk estrogen yang menyebabkan efek hormonal pada hewan ternak terutama babi. Pengaruh zearalenon paling penting terhadap sistem reproduksi. Di Selandia Baru, zearalenon merupakan penyebab infertilitas pada kambing walaupun toksisitas akutnya rendah. Kemampuan zearalenon menimbulkan hiperestrogenism, terutama pada babi telah diketahui selama bertahuntahun. Zearalenon pertama kali diisolasi pada tahun 1962. Mikotoksin ini cukup stabil dan tahan terhadap suhu tinggi.

Hingga saat ini paling sedikit terdapat 6 macam turunan zearalenon, diantara nya α-zearalenol yang memiliki aktivitas estrogenik 3 kali lipat daripada senyawa induknya. Senyawa turunan lainnya adalah 6,8-dihidroksizearalenon, 8-hidroksizearalenon, 3-hidroksizearalenon, 7-dehidrozearalenon, dan 5- formilzearalenon. Komoditas yang banyak tercemar zearalenon adalah jagung, gandum, kacang kedelai, beras dan serelia lainnya.

Zearalenon dan deoksinivalenol adalah mikotoksin yang dihasilkan terutama oleh kapang Fusarium graminiarum yang dapat membahayakan kesehatan ternak. Zearalenon bersifat estrogenik pada ternak sapi maupun babi dan dapat menyebabkan gangguan reproduksi, sedangkan deoksinivalenol walaupun toksisitasnya rendah namun dapat menyebabkan gejala penolakan pakan. Suatu penelitian untuk mengetahui keberadaan cemaran kedua mikotoksin tersebut telah dilakukan pada 34 sampel dari berbagai jenis pakan dan bahan pakan sapi serta babi (jagung, dedak dan berbagai jenis bungkil) yang dikoleksi dari daerah kabupaten Bandung, Subang dan Tangerang. Sampel diekstraksi menggunakan pelarut organik dan dianalisis terhadap cemaran zearelenon dan deoksinivalenol. Hasil analisis menunjukkan bahwa zearalenon ditemukan pada 30 sampel (88,23%) yang dianalisis dengan konsentrasi tertinggi yaitu 473,3 ppb, sedangkan deoksinivalenol ditemukan pada 13 sampel (38,23%) dengan konsentrasi tertinggi 1280 ppb. Hal tersebut menunjukkan bahwa kedua jenis mikotoksin tersebut juga telah mencemari beberapa bahan pakan dan pakan yang dianalisis, walaupun tingkat cemarannya belum mencapai tingkat yang membahayakan kesehatan ternak babi maupun sapi.

TRIKOTESENA

Mikotoksin golongan trikotesena dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys. Mikotoksin golongan ini dicirikan dengan adanya inti terpen pada senyawa tersebut. Toksin yang dihasilkan oleh kapang-kapang tersebut diantaranya adalah toksin T-2 yang merupakan jenis trikotesena paling toksik. Toksin ini menyebabkan iritasi kulit dan juga diketahui bersifat teratogenik. Selain toksin T-2, trikotesena lainnya seperti deoksinivalenol, nivalenol dapat menyebabkan emesis dan muntah-muntah (Ueno et al., 1972 dalam Sinha, 1993).

Trichoderma, Myrothecium, Trichothecium dan Stachybotrys.

Deoksinivalenol (DON)

Deoksinivalenol (DON, vomitoksin)adalah mikotoksin jenis trikotesena tipe B yang paling polar dan stabil yang diproduksi oleh

kapang Fusarium graminearium (Gibberella zeae) dan F. culmorum;

dimana keduanya merupakan patogen pada tanaman. Keberadaan

DON kadang disertai pula oleh mikotoksin lain yang dihasilkan oleh Fusarium seperti zearalenon,nivalenol (dan trikotesena lain) dan juga fumonisin.

DON merupakan salah satu penyebab terjadinya mikotoksikosis pada hewan. DON merupakan mikotoksin yang stabil

secara termal, oleh karena itu sangat sulit untuk menghilangkannya

dari komoditas pangan yang rentan terkontaminasi senyawa ini, seperti pada gandum. DON banyak terdapat pada tanaman biji-bijian seperti gandum, barley, oat, gandum hitam, tepung jagung, sorgum, tritikalus dan beras. Pembentukan DON pada tanaman pertanian tergantung pada iklim dan sangat bervariasi antar daerah dengan geografi tertentu. Karena senyawa ini stabil, DON dapat pula ditemukan pada produk sereal seperti sereal untuk sarapan, roti, mi instan, makanan bayi, malt dan bir. Toksisitas akut DON diperlihatkan

pada babi dengan gejala keracunan seperti muntah-muntah, tidak mau makan, penurunan berat badan dan diare. Menurut IARC tahun 1993, DON tidak diklasifikasikan bersifat karsinogen pada manusia. DON tidak mutagenik pada bakteri, namun pada studi in vivo dan in vitro ditemukan adanya penyimpangan pada kromosom yang mengindikasikan DON genotoksik.

FUMONISIN

Fumonisin termasuk kelompok toksin fusarium yang dihasilkan oleh kapang Fusarium spp., terutama F. moniliforme dan F. proliferatum. Mikotoksin ini relatif baru diketahui dan pertama kali diisolasi dari F. moniliforme pada tahun 1988 (Gelderblom, et al., 1988). Selain F. moniliforme dan F. proliferatum, terdapat pula kapang lain yang juga mampu memproduksi fumonisin, yaitu F.nygamai, F. anthophilum, F. diamini dan F. napiforme.

F. moniliforme tumbuh pada suhu optimal antara 22,5 – 27,50 C dengan suhu maksimum 32 - 370C. Kapang Fusarium ini tumbuh dan tersebar diberbagai negara didunia, terutama negara beriklim tropis dan sub tropis. Komoditas pertanian yang sering dicemari kapang ini adalah jagung, gandum, sorgum dan berbagai produk pertanian lainnya.

Hingga saat ini telah diketahui 11 jenis senyawa Fumonisin, yaitu Fumonisin B1 (FB1), FB2, FB3 dan FB4, FA1, FA2, FC1, FC2, FP1, FP2 dan FP3. Diantara jenis fumonisin tersebut, FB1 mempunyai toksisitas yang dan dikenal juga dengan nama Makrofusin. FB1 dan FB2 banyak mencemari jagung dalam jumlah cukup besar, dan FB1 juga ditemukan pada beras yang terinfeksi oleh F.proliferatum.

Keberadaan kapang penghasil fumonisin dan kontaminasi fumonisin pada komoditi pertanian, terutama jagung di Indonesia telah dilaporkan oleh Miller et al. (1993), Trisiwi (1996), Ali et al., 1998 dan Maryam (2000b). Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000a).

Meskipun kontaminasi fumonisin pada hewan dan manusia belum mendapat perhatian di Indonesia, namun keberadaannya perlu diwaspadai mengingat mikotoksin ini banyak ditemukan bersama-sama dengan aflatoksin sehingga dapat meningkatkan toksisitas kedua mikotoksin tersebut (Maryam, 2000a). Toxin fumonisin ditemukan pada beberapa tanaman obat dan teh herbal yang tersebar di pasar Turkey (Omurtag dan Yazicioglu, 2006). Kapang ini biasanya tumbuhpada komoditas pertanian di lahan pertanian ataupun yang disimpan didalam gudang. Mikotoksin ini ditemukan terutama pada jagung. Lebih dari 10 tipe fumonisin telah berhasil diisolasi dan dikarakterisasi. Diantara 10 jenis tersebut fumonisin yang paling dikenal ialah fumonisin B1 (FB1), FB2 dan FB3. Yang sering ditemukan pada jagung yaitu FB1 dan merupakan fumonisin yang paling toksik. Fumonisin pertama kali ditemukan dalam jagung pada pertengahan tahun 1980-an. Keberadaannya juga terdapat pada komoditas pangan lain seperti beras dan sorgum namun konsentrasinya lebih rendah dibanding pada jagung. Batasan fumonisin dalam jagung mentah sendiri dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti suhu, kelembaban, stres terhadap kekeringan dan hujan selama periode sebelum panen dan periode panen, kondisi penyimpanan, dan gangguan serangga. Konsentrasi fumonisin biasanya meningkat pada musim panas dan kering, periode dimana kelembaban tinggi. Pada jagung yang disimpan, jika kelembabannya berkisar antara 18-23% biasanya produksi kapang meningkat sebanding dengan konsentrasi fumonisinnya. Gangguan serangga meningkatkan produksi fumonisin. Pada jagung hibrid jarang terinfeksi oleh Fusarium karena disisipi oleh gen dari Bacillus thuringiensis yang memproduksi protein yang toksik terhadap serangga sehingga konsentrasi fumonisin pada jagung hibrid lebih rendah daripada jagung non hibrid. Fumonisin dapat menyebabkan

penyakit sporadis yang fatal pada kuda dan spesies lain; dikenal sebagai ELEM atau Eguine Leucoencephalomalacia. ELEM merupakan indikator keberadaan fumonisin. Hasil otopsi pada hewan percobaan menunjukkan fumonisin menyebabkan udema pada otak dan peradangan pada organ hati (terjadi fibrosis pada area centrilobulara).Pada babi, menginduksi oedema paru-paru dan hidrotoraks dimana rongga toraks berisi cairan berwarna kuning. Selain itu terdapat juga masalah dalam pernapasan dan kematian pada janin. Sebetulnya tidak ada bukti mengenai efek fumonisin terhadap kesehatan manusia. Namun diperkirakan terdapat hubungan antara konsumsi jagung yang tinggi di beberapa daerah didunia dengan terjadinya kanker esofagus. Tetapi perlu dilakukan studi epidemi yang lebih dalam mengenai peranan F. moniliforme dan metabolitnya (fumonisin) terhadap kanker esofagus yang banyak terjadi di Transkei Cina dan Italia Utara, karena pada studi-studi ini kontrol yang digunakan masih kurang, sehingga belum dapat disimpulkan sepenuhnya.

PENCEGAHAN DAN PENANGANAN MIKOTOKSIN

Kontrol terhadap mikotoksin sangat penting dilakukan terutama bagi produsen peternakan dan pabrik pakan. Kontrol terhadap timbulnya jamur dapat dilakukan dengan menjaga kadar air di dalam pakan rendah, menjaga pakan selalu segar serta menjaga peralatan agar tetap bersih. Biji-bijian yang telah dikeringkan harus disimpan di tempat yang kering dimana kadar airnya kurang dari 14 % untuk mrncegah tumbuhnya jamur.Aliran udara atau venttilasi yang baik pada tempat penyimpanan pakan (biji-bijian) Penting untuk mengurangi kadar air dan menjaga agar bahan pakan tetap kering.

a. Kontrol Kadar Air

Kandungan air dalam pakan menjadi salah satu faktor utama akan berkembang nya jamur. Air yang terkandung didalam pakan didapat dari 3 sumber yaitu :

1. Kandungan pakannya.

2. Proses pakan di pabrik

3. Tempat dimana pakan disimpan

Untuk mengendalikan kandungan kadar air maka ketiga faktor tersebut diatas harus diperhatikan

Jagung dan jenis biji-bijian lain merupakan bahan pakan yang tinggi kadar air dan sumber timbulnya jamur dalam pakan.Langkah pertama yang perlu dilakukan adalah kontrol kadar air agar kadar airnya selalu rendah. Semua pakan mengandung kadar air tertentu , maka kadar air tersebut harus dimonitor dan dikontrol.

Umumnya pada biji-bijian jarang timbul jamur, namun jika kondisinya memungkinkan maka jamur juga bisa tumbuh Biji-bijian yang ditumpuk maksimal kadar airnya adalah 15 %. Biji-bijian dengan kadar air yag tinggi memungkinkan tumbuhnya jamur akan tingi pula. Banyaknya jamur yang tumbuh pada biji-bijian yang pecah lima kali lebih banyak dibandingkan pada biji-bijian yang masih utuh.

Proses penggilingan bahan pakan digunakan mesin penggiling untuk membantu pencampuran. Proses penggilingan menjadi pecahan ini menimbulkan panas.Jika tidak dikontrol, maka temperatur akan meningkat lebih dari 10 oF sehingga akan timbul titik-titik air. Titik-titik air ini menunjang tumbuhnya jamur. Hal ini juga dapat terjadi terutama jika udara dingin. sehingga perbedaan suhu ini menyebabkan air akan berkondensasi di bagian dinding tempat peggilingan. Disarankan sintem penggilingan (hummer milk) disertai dengan menggunakan sirkulasi udara /ventilasi yang dapat menurunkan / mengurangi panas pada produk pakan dan mengurangi timbulnya titik-titik air.

Proses pelleting pakan menggunakan uap air dengan penambahan panas dan penambahan air 3-5% dengan tekanan tertentu. Kemudian pellet tersebut didinginkan untuk menghilangkan panas dan mengurangi kandungan air. Jika proses pelleting dilakukan dengan tepat, maka kelebihan air dapat dikurangi. Namun jika kelebihan air ini tidak dapat dikurangi maka saat pendinginan pellet, dapat menumbuhkan jamur.

Saat pendinginan pada proses pelleting,pellet yang masih panas yang keudian ditempatkan pada tempat yag dingin akan menyebabkan kondensasi pada bagian dinding. Hal ini perlu diperhatikan dengan baik, karena jika proses pelleting lambat, maka resiko timbulnya jamur juga akan tinggi.

b. Kondisi Tempat Menyimpan Pakan

Untuk mengontrol pertumbuhan jamur, sumber timbulnya air dari tempat penampungan pakan dan peralatan penyimpanan perlu dihindari. Sumber air ini dapat timbul karena kebocoran tempat penyimpanan, bagian atap gudang atau atap tempat pengilingan. Timbulnya air pada pakan seringkali dilewatkan.Pada sistem perkandangan close house banyak dilakukan dengan memberikan rasa dingin yang menyebabkan kondisi lingkungan lebih lembab. Kelembaban pada sistem perkandangan ini harus dikontrol dengan sistem ventilasi yang cukup.

c. Kontrol Agar pakan Tetap Segar

Sebaiknya pakan yang diberikan ke ternak masih dalamkeadaan segar.Pakan seharusnya dikonsumsi habis maksimal dalam waktu 10 hari setelah pengiriman.

Hal yan perlu dilakukan adalah mengatur sistem pengiriman pakan untuk memastikan bahwa pakan tersebut harus habis.Selain itu pemberian pakan sebaiknya diberikan secara bertahap.Ternak umumnya akan memakan pakan yang ada dibagian atas sedangkan pakan yang ada dibagian bawah telewatkan sehingga kemungkinan jamur bisa tumbuh. Untuk mencegah masalah ini, seharusnya pakan ditempat pakan dihabiskan sebelum datang pakan yang baru.Prinsip pengeluaran dari gudang juga sama yang biasa disebut dengan “all in all aut”

d. Kebersihan Peralatan

Saat pakan dikirim ke farm, dimungkinkan terjadi kontak dengan pakan yang lama yang masih tertinggal pada saat penyimpanan pakan atau pengiriman pakan.pakan lama tersebut seringkali terdapat jamurnya dan jika kontak dengan pakan baru maka kesempatan jamur untuk tumbuh dan membentuk mikotoksin akan meningkat. Untuk mencegahnya, sisa pakan lama sebaiknya dibersihkan dahulu dari peralatan tersebut.

e. Penghambat Tumbuhnya jamur (Mold inhibitor)

Penggunaan bahan kimia penghambat tumbuhnya jamur merupakan salah satu cara yang baik digunakan dalam industri pakan.

Tipe mold inhibitor utama antara lain adalah :

1. Asam organik atau kombinasi beberapa asam-asam organik (Propionat, sorbat, benzoat, dan asam asetat)

2. Garam dari asam organik (contohnya : kalsium Propionat dan potasium sorbat)

3. Tembaga sulfat . Bahan-bahan kimia ini baik bentuk padat ataupun cair cara kerjanya sama dan menyebar rata keseluruh paka. Umumnya bentuk asam lebih efektif dibanding bentuk yang lainnya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keefektifan dari jamur, Mold inhibitor (penghambat jamur) efektif jika inhibitor ini didistribusikan secara merata keseluruh bagian pakan, yang berarti keseluruhan permukaan partikel pakan berkontak langsung dengan inhibitor ini seharusnya juga menembus partikel pakan sehingga bagaian dalam jamur dapat dihambat.ukuran partikel dari mold nhibitor ini seharusnya lebih kecil dari partikel pakan.

f. Efek Kandungan Bahan-bahan Pakan

Bahan pakan tertentu juga dapat mempengaruhi mold nhibitor,protein atau suplementasi mineral (sebagai contoh tepung by produk unggas, tepung ikan, bungkil kedelai dan tepung batu) akan menurunkan efektifitas dari asam propionat.Bahan-bahan tersebut dapat menetralkan asam-asam bebas dan mengubahnya menjadi garam, sehingga menjadi kurang aktif sebagai inhibitor.Pakan lemak cendrung meningkatkan aktifitas asam-asam organik, dengan jalan meningkatkan penetrasi (penembusan) ke dalam partikel pakan.

Mold inhibitor yang digunakan dalam konsentrasi yang direkomendasikan, akan menghasilkan pakan yang bebas jamur, jika menginginkan pakan yang bebas jamur dalam jangka waktu yang lam,maka konsentrasi inhibitor arus tinggi. Konsentrasi inhibitor mulai menurun.

PENUTUP

Kontaminasi mikotoksin pada makanan sulit dihindari dan merupakan masalah global, terutama di Indonesia yang mempunyai iklim yang sangat mendukung pertumbuhan kapang penghasil mikotoksin. Umumnya kontaminasi mikotoksin terjadi pada komoditi pertanian dan hasil olahannya, atau pada bahan makanan yang disimpan terlalu lama.

Mikotoksikosis dapat terjadi karena adanya rantai makanan yang saling berkaitan, dimana pemaparan mikotoksin ke dalam tubuh terjadi karena konsumsi bahan pangan yang sudah tercemar (efek primer) dan konsumsi produk hewani (efek sekunder).

Dari begitu banyaknya jenis mikotoksin yang telah ditemukan, aflatoksin merupakan mikotoksin yang paling banyak dijumpai di alam terutama di negara beriklim tropis, dan mempunyai toksisitas yang lebih tinggi dari mikotoksin lainnya. Namun, toksisitas mikotoksin tergantung beberapa faktor seperti dosis, rute pemaparan, lamanya pemaparan, spesies, umur, jenis kelamin, status fisiologis ( kese-hatan dan gizi), serta adanya efek sinergis dari berbagai mikotoksin dalam makanan.

Umumnya mikotoksin bersifat kumulatif, sehingga efeknya tidak dapat dirasakan dalam waktu cepat dan sulit dibuktikan secara etiologi. Masalah lainnya, kontaminasi pada makanan tidak dapat terlihat sehingga tidak mudah untuk mengindikasi suatu makanan telah tercemar mikotoksin kecuali dengan melakukan analisa laboratorium.

Namun demikian, cemaran mikotoksin dapat diindikasikan dengan terlihatnya infestasi kapang meskipun adanya pertumbuhan kapang tidak selalu identik dengan produksi mikotoksin karena mikotoksin dihasilkan pada kondisi tertentu. Suatu bahan makanan dapat saja terdapat beberapa spesies kapang yang menghasilkan beberapa jenis mikotoksin yang saling beriteraksi dan saling memperkuat tingkat toksisitas (efek sinergis).

Oleh karena alasan tersebut di atas, maka perlunya meningkatkan kewaspadaan dalam memilih bahan makanan atau makanan olahan yang akan dikonsumsi dan tidak mengkonsumsi makanan yang sudah kadaluarsa atau yang disimpan terlalu lama.

DAFTAR PUSTAKA

Ali, N., Sardjono, A. Yamashita, and T. Yoshizawa. 1998. Natural occurrence of aflatoxins and fusarium mycotoxins (fumonisins, deoxinivalenol, nivalenol, and zearalenon) in corn from Indonesia. Food. Add. Contaminant. 15: 377-384.

Al-Qur’an dan Terjemahnya. 1978. Departemen Agama RI. Jakarta

Bahri, S., Maryam, R dan Widiastuti, R. 2002. Materi Kuliah pada Workshop on “Grain and Feed Quality”, Bogor 30 Januari -1 Pebruari 2002

Maryam, R. 1996. Residu Aflatoksin dan Metabolitnya dalam daging dan Hati Ayam. Prosiding Temu Ilmiah Nasional Bidang Veteriner, 236-339. Bogor, 12-13 Maret 1996.

Maryam, R., Bahri, S., Zahari, P. 1994. Deteksi aflatoksin B1, M1 dan Aflatoksikol dalam Telur dengan Kromatografi Cair Kinerja Tinggi. Prosiding Teknologi Veteriner untu Kesehatan Hewan dan Keamanan Pangan. Bogor, 22-24 Maret 1994.

Maryam, R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia (Indonesian Journal of Medical Mycology), 1(1): 51-57.

Maryam, R. 2000b. Kontaminasi Fumonisin pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner. Bogor, 18-19 September 2000. Pusat Penelitian Peternakan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertania, Departemen Pertanian. Hal.538-542

Bahri, S., Ohim, Maryam, R. 1995. Residu aflatoksin M1 pada susu sapi dan hubungannya dengan keberadaan afaltoksin M1 pada pakan sapi. Kumpulan Makalah Lengkap Kongres Nasional Perhimpunan Mikologi Kedokteran Manusia dan Hewan Indonesia I dan Temu Ilmiah. Bogor, 21-24 Juli 1994. Hal: 269-275

Bhat, R.V. and J.D.Miller. 1991. Mycotoxins and food supply. FAO, Food, Nutrition and Agriculture, 1: 27-31

Cole, R.J., Cox, R.H (Eds.). 1981. Handbook of Toxic Fungal Metabolites. Academic press, New York, pp 1850

Kubena, LF., Edrington, TS., Harvey, RB., Buckley, SA., Phillips, TD., Rottinghaus, GE., casper, HH. 1997. Individual and combine effects on fumonisin B1 present in Fusarium moniliforme culture material ant T-2 toxin or deoxynivalenol in broiler chicks. Poultry Science 76(9): 1239-1247

Kuiper-Goodman, T. 1996. Risk assessment of ochratoxin A: An update. Food. Addit.Contam. 13 (Suppl): 553-557

Maryam, R. 2000a. Fumonisin: Kelompok mikotoksin Fusarium yang perlu diwaspadai. Jurnal Mikologi Kedokteran Indonesia 1(1): 51-57

Maryam, R. 200b. Kontaminasi pada bahan pakan dan pakan ayam di Jawa Barat. Presentasi poster pada Seminar Nasional Teknologi Peternakan dan Veteriner. Bogor 18-19 September 2000.

Miller, JD., Savard, ME., Sabilia, A., Rapior, S., Hocking, AD, Pitt, JI. 1993. Production of fumonisins and fusarins by Fusarium moniliforme from South East Asia. Mycologia 85(3): 385-391

Muhilal and D.Karyadi. 1985. Aflatoxin in nuts and grains. Gizi Indonesia. Vol.X (1): 75-79

Sinha, K.K.1993. Mycotoxins. ASEAN Food Journal. 8(3): 87-93

Sudjadi, S., Machmud, M., damardjati, D.S., Hidayat, A., widowati, S., Widiati, A. 1999. Aflatoxin research in Indonesia. Elimination of Aflatoxin Contamiation in Peanut. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra, pp.23-25

Trisiwi. 1996. Identifikasi kapang penghasil mikotoksin pada pakan ayam pedaging dan petelur di kotamadya Bandar Lampung. Skripsa Sarjana, Universitas Lampung.

1 komentar: