Selasa, 25 Oktober 2011

SATWA LIAR

DEFINISI SATWA LIAR

Satwa yang boleh diburu adalah satwa yang menurut undang-undang atau peraturan telah ditetapkan untuk dapat diburu.Binatang langka adalah binatang yang tinggal sedikit jumlahnya dan perlu dilindungi (spt jalak putih, cenderawasih).Binatang liar adalah semua binatang yang hidup di darat dan di air yang masih mempunyai sifat liar, baik yang hidup bebas maupun yang dipelihara oleh manusia.Satwa migran satwa yang berpindah tempat secara teratur dalam waktu dan ruang tertentu.

Keanekaragaman satwa di Indonesia terkenal sangat kaya. Hal ini berkaitan dengan keadaan tanah, letak geografis, iklim yang mendukung. Juga keanekaragaman tumbuh-tumbuhan sebagai habitatnya, mendukung kekayaan keanekaragaman satwa ini. Namun sayangnya Indonesia juga memiliki keragaman jenis satwa yang terancam punah yang diakibatkan oleh Perburuan dan perdagangan satwa liar yang didukung juga keberadaan habitat satwa liar yang saat ini mengalami degradasi yang terus meningkat.

Perburuan dan perdagangan satwa liar serta penebangan hutan merupakan ancaman terbesar bagi kelangsungan hidup satwa liar di Indonesia. Adanya peraturan yang berusaha melindungi hidupan liar di negera kita pun ternyata belum cukup mampu menjamin kelestariannya. Disebutkan bahwa Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya yang dengan tegas mensyaratkan penjagaan keseimbangan ekosistem flora dan fauna di Indonesia.

Ditemukan bahwa kerusakan hutan Indonesia saat ini mencapai 3,8 juta hektar setahun. Dan ini berarti dalam satu menit telah terjadi kerusakan hutan sebesar 7,2 hektar. Sedangkan perdagangan satwa liar illegal di Indonesia sudah sangat memprihatinkan. Ditemukan dalam sehari telah terjadi transaksi perdagangan satwa liar secara illegal sebanyak 10-30 ekor.

Kehidupan satwa liar telah di ambang kepunahan apabila usaha perlindungan dan pelestariannya tidak segera dilakukan secara maksimal. Beberapa spesies yang juga menghadapi ancaman kepunahan diantaranya 104 jenis burung, 57 jenis mamalia, 21 jenis reptil, 65 jenis ikan tawar, dan 281 jenis tumbuhan Apalagi 72% hutan yang sebagai tempat tinggal satwa liar di Indonesia telah hilang.

MANFAAT SATWA LIAR

1. Sumber protein hewani

Tak kurang dari 20 jenis satwa liar, antara lain rusa, berhasil didomestikasi di dunia, dengan tujuan produksi daging sebagai sumber protein. Satwa tersebut, merupakan sumber protein alternatif terbaru yang telah mendapat tempat tersendiri di lidah konsumen Barat, apa lagi daging rusa berserat empuk dan memiliki gizi yang baik, rendah kalori dan rendah kolesterol. Domestikasi, merupakan proses pemeliharaan satwa dari kehidupan liar menjadi di bawah kontrol manusia dan dikembangkan sesuai dengan tujuan pemanfaatan manusia. Sapi, kuda, kambing dan lain-lain didomestikasi manusia sejak ribuan tahun lalu.

Sementara hingga saat ini Indonesia belum memberi perhatian serius terhadap rusa komersial yang mengarah pada pemanfaatan produk secara profesional dan belum memiliki model usaha penangkaran sistem peternakan, meskipun Indonesia memiliki tiga jenis rusa tropis, yakni rusa Jawa, rusa Sambar, dan rusa Bawean.Satu-satunya penangkaran rusa di Indonesia yang dikembangkan berdasarkan peternakan hanya ada di Kabupaten Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur di bawah Dinas Peternakan provinsi sejak 1998.

Potensi satwa liar saat ini, ujarnya, cenderung dinilai rendah dengan membatasinya sebagai satwa lindungan, untuk kepentingan estetika, atau tontonan turis dan mengabaikan potensi manfaat satwa lebih luas. Sering terjadi polemik berkepanjangan antara penangkaran dan pemanfaatan satwa liar, di mana CITES (Convention on International Trade in Endangered Species) telah memperingatkan perlunya kewaspadaan adanya penyalahgunaan status hasil penangkaran dan penangkapan dari alam. Namun UU no 18 tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan memungkinkan suatu jenis satwa liar berubah status menjadi hewan ternak bila secara genetik telah stabil tanpa bergantung pada populasi di habitat alam.

2. Wisata Konservasi

Bumi Indonesia sangat kaya akan sumber-sumber keindahan, baik itu keindahan yang diciptakan oleh manusia dalam bentuk seni maupun keindahan yang diciptakan oleh Tuhan yang berupa keindahan bentang alam Indonesia. Dari yang paling dekat yaitu Pulau Jawa dan Bali saja sudah mempunyai eksotika alam yang beitu menakjubkan, apalagi seluruh wilayah Indonesia. Bisa dikatakan kalau orang Indonesia begitu dimanja oleh kekayaan alamnya yang berlimpah sehingga tak jarang banyak manusia-manusia Indonesia yang terlena dengan keadaan ini. Sebagian besar sudah lupa bahwa kekayaan dan keanekaragaman hayati adalah titipan dari Tuhan yang harus dijaga demi kelangsungan hidup manusia di muka bumi ini. Menurut berita di media masa, keadaan yang terjadi saat ini adalah eksploitasi demi eksploitasi terhadap keanekaragaman hayati nusantara mewarnai Indonesia. Akibatnya banyak masalah yang muncul belakangan ini, tidak hanya punah dan semakin langkanya keanekaragaman fauna dan flora yang mungkin bagi sebagian besar masyarakat tidak dirasakan secara langsung, masalah lebih besar yang muncul adalah bencana alam dan yang lebih parah menurut ahli lingkungan adalah pemanasan global. Menghentikan kerusakan alam di Indonesia sepertinya masih sulit untuk diwujudkan apabila kepentingan ekonomi dan mungkin politik masih mewarnai pengelolan lingkungan hidup. Kawasan konservasi berupa taman nasional dan cagar alam mungkin solusi untuk menurunkan laju kerusakan lingkungan dan pencegah penurunan kualitas keanekaragaman hayati di Indonesia.

Begitu banyak kawasan konservasi di negri ini diharapkan mampu menjaga kelestarian keanekaragaman hayati di dalamnya serta kehidupan sosial budaya masyarakat yang hidup di sekitarnya. Di Pulau Jawa yang tercatat sebagai pulau terpadat di Indonesia mempunyai banyak taman nasional dan cagar alam, namun masalahnya terletak pada luasan wilayahnya yang menurut ahli masih dirasa kurang untuk ukuran pulau Jawa dan kawasan tersebut masih terpecah-pecah sehingga wilayah jelajah satwa liar menjadi terbatas, hal ini dikhawatirkan dapat menyebabkan kepunahan dari satwa tersebut.

Dari ujung barat sampai ujung timur pulau Jawa mempunyai banyak taman nasional dengan beragamnya bentang alam sampai keanekaragaman hayatinya. Di bagian barat pada umumnya mempunyai kondisi iklim yang lebih basah dan bagian timur dari pulau Jawa mempunyai iklim yang lebih kering. Selain itu berbagai satwa endemik ataupun satwa maskot di suatu kawasan taman nasional telah menjadikan kawasan tersebut sangat berarti bagi tempat tinggal terakhir satwa-satwa tersebut. Menurut UU No. 5 tahun 1990, taman nasional adalahkawasan pelesatarian alam yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan, menunjang budidaya, pariwisata, dan rekreasi. Dengan melihat definisi tersebut maka alangkah baiknya wisata alam lebih diarahkan untuk mengunjungi kawasan taman nasional, karena selain wisata atau rekreasi, pengetahuan akan pentingnya konservasi pun akan tertanam dalam hati. Bagi para penikmat burung, kawasan taman nasional juga menawarkan eksotisme burung-burung liar yang mungkin tidak dijumpai di kawasan lain, sehingga tak jarang kawasan ini mempunyai program bird race atau kompetisi pengamatan burung. Atau untuk penikmat tantangan alam, kawasan taman nasional juga sangat menawarkan tantangan alam yang sangat menakjubkan. Kunjungan ke taman nasional dapat dijadikan ajang untuk mendukung visit indonesia year 2010 dan tentunya mendukung pelestarian alam di Indonesia.

SEJARAH PERKEMBANGAN SATWA LIAR DI INDONESIA

Kegiatan konservasi satwa liar di Indonesia dimulai pada permulaan abad ke-19, diawali dengan berdirinya perkumpulan penggemar alam (Nederlands-Indische Vereniging voor Natuurbescherming) yang diketuai oleh Drs. S. H. Koorders. Kegiatan perkumpulan ini menghasilkan bermacam-macam peraturan dan usulan ditetapkannya beberapa kawasan konservasi alam. Diantaranya pada tahun 1889 hutan Cibodas dilarang diganggu gugat dan kemudian dikenal sebagai Cagar Alam Cibodas, dan terakhir statusnya diubah menjadi taman nasional. Pada tahun 1912 diusulkan lagi beberapa kawasan konservasi alam, salah satunya adalah Ujung Kulon.

Pada tahun 1900 dibentuk persatuan pemburu satwa liar yang diberi nama vena/venetoria. Kegiatan Venetoria selain mengadakan kunjungan sambil melakukan pemburuan satwa liar besar, juga seringkali mengajukan usul kepada persatuan penggemar alam untuk menetapkan kawasan-kawasan konservasi. Misalnya pada tahun 1921 Venetoria mengajukan petisi untuk menetapkan Ujung Kulon sebagai suaka alam.

Selain Dr. S. H. Koorders, juga dikenal A. Hoogerwerf yang pada tahun 1937 menjabat asisten Direktur pada musium zoologi dan Kebun Raya Bogor. Di samping itu, pada tahun 1932-1957 dia sering melakukan penelitian di kawasan-kawasan konservasi alam, salah satunya Ujung Kulon. Bukunya yang sangat terkenal adalah Ujung Kulon : The Land of the Last Javan Rhinoceros, diterbitkan pada tahun 1970. Setelah zaman Hoogerwerf, perhatian bangsa asing terhadap konservasi alam di Indonesia semakin meningkat. Walaupun masih sangat terbatas, peneliti-peneliti Indonesia juga mulai tertarik untuk mendalami masalah-masalah konservasi satwa liar. Pada mulanya artikel yang ditulis oleh bangsa Indonesia hampir tidak ada. Pada tahun 1955, F. J. Appelman seorang rimbawan senior Indonesia menulis artikel tentang konservasi alam di Indonesia dalam majalah kehutanan Tectona. Perhatian pemerintah mulai timbul lagi sejak tahun 1974, diawali oleh kegiatan Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam yang berhasil menyusun rencana pengembangan kawasan-kawasan konservasi di Indonesia dengan bantuan FAO/UNDP (Food and Agriculture Organization of the United Nations Development Programme), dan usaha penyelamatan satwa liar yang diancam kepunahan dengan bantuan NGO.

Pada waktu pertemuan teknis IUCN (International Union for The Conservation of Nature and Natural Resources) ke-7 di New Delhi, India pada tanggal 25-28 November 1969, Indonesia mengirimkan beberapa utusan, diantaranya adalah Ir. Hasan Basjarudin dan Dr. Ir. Rudy C. Tarumingkeng. Pada konferensi tersebut wakil dari Indonesia menyampaikan makalahnya dengan judul “Suaka Alam dan Taman Nasional di Indonesia: Keadaan dan permasalahannya” dan “Pendidikan Konservasi Alam di Indonesia”. Kedua makalah tersebut mendapat tanggapan positif dari peserta konferensi, sehingga perhatian dunia luar terhadap kegiatan konservasi alam di Indonesia semakin meningkat.

Pada tahun 1982 di Bali diadakan Kongres Taman Nasional Sedunia ke-3 yang melahirkan Deklarasi Bali. Terpilihnya Bali sebagai tempat kongres mempunyai dampak yang positif bagi perkembangan pengelolaan hutan suaka alam dan taman nasional di Indonesia. Pada tahun 1978 tercatat tidak kurang dari 104 jenis telah dinyatakan sebagai satwa liar dilindungi. Pada tahun 1985, keadaannya berubah menjadi 95 jenis mamalia, 372 jenis burung, 28 jenis reptil, 6 jenis ikan, dan 20 jenis serangga yang dilindungi.

Kemajuan kegiatan konservasi alam di Indonesia juga banyak dirangsang oleh adanya World Conservation Strategy, yang telah disetujui pada waktu sidang umum PBB tanggal 15 Maret 1979. Pada tahun 1983 dibentuk Departemen Kehutanan, sehingga Direktorat Perlindungan dan Pengawetan Alam statusnya diubah menjadi Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) yang tugas dan tanggung jawabnya semakin luas. Di fakultas-fakultas kehutanan dan biologi sudah mulai diajarkan ilmu konservasi alam dan pengelolaan satwa liar. Bahkan di beberapa fakultas kehutanan sudah dikembangkan jurusan Konservasi Sumber Daya Alam.

Dari segi undang-undang dan peraturan tentang perlindungan alam juga banyak mengalami kemajuan, beberapa undang-undang dan peraturan peninggalan pemerintah Hindia Belanda, telah dicabut dan diganti dengan UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Dan pada tahun 1990-an mulai banyak berdiri LSM di Indonesia yang menangani tentang satwa liar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar